Sejarah Perjudian Bola Negara, Judi dalam bentuk lotre sudah ada sejak tahun 1960-an yang zaman itu
lebih dikenal dengan nama lotre buntut. Pada masa itu, di Bandung ada
lotre yang disebut Toto Raga sebagai upaya pengumpulan dana mengikuti
pacuan kuda. Sedangkan di Jakarta semasa Gubernur Ali Sadikin muncul
undian lotre yang diberi nama Toto dan Nalo (Nasional Lotre).
Tahun 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No 113 Tahun 1965
yang menyatakan lotre buntut merusak moral bangsa dan masuk dalam
kategori subversi. Memasuki Orde Baru, lotre ini terus berkembang. Tahun
1968, Pemda Surabaya mengeluarkan Lotto (Lotre Totalisator) PON Surya
yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan olahraga, hanya
berdasarkan undian. Tujuannya menghimpun dana bagi PON VII yang akan
diselenggarakan di Surabaya tahun 1969.
Pada tahun 1974, Toto KONI dihapus. Pemerintah melalui Menteri Sosial
Mintaredja (saat itu) mulai memikirkan sebuah gagasan untuk
menyelenggarakan forecast sebagai bentuk undian tanpa menimbulkan ekses
judi. Setelah studi banding selama dua tahun, Depsos berkesimpulan,
penyelenggaraan forecast Inggris dilaksanakan dengan bentuk sederhana
dan tidak menimbulkan ekses judi. Selain itu, perbandingan yang
diperoleh penyelenggara tebakan, pemerintah, dan hadiah bagi si penebak
40-40-20.
Tahun 1976, setelah meminta penilaian lagi dari Kejaksaan Agung,
Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dan Departemen Dalam Negeri,
rencana Depsos untuk menyelenggarakan forecast tidak mendapat tantangan
dan merencanakan pembagian hasil 50-30-20. Rencana itu belum bisa
terlaksana, karena Presiden Soeharto bersikap hati-hati dan meminta
untuk dipelajari lebih dalam lagi. Dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun
untuk melaksanakan undian forecast ini.
Tanggal 28 Desember 1985, Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola
diresmikan, diedarkan, dan dijual. Porkas dimaksudkan menghimpun dana
masyarakat untuk menunjang pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga
Indonesia. Porkas lahir berdasarkan UU No 22 Tahun 1954 tentang Undian,
yang antara lain bertujuan agar undian yang menghasilkan hadiah tidak
menimbulkan berbagai keburukan sosial.
Berbeda dari Toto KONI, Porkas tidak ada tebakan angka, melainkan
penebakan M-S-K atau menang, seri, dan kalah. Perbedaan lain, kalau Toto
KONI beredar sampai ke pelosok daerah, maka Porkas beredar hanya sampai
tingkat kabupaten dan anak-anak di bawah usia 17 tahun dilarang
menjual, mengedarkan, serta membelinya.
Kupon Porkas ini terdiri atas 14 kolom dan diundi seminggu sekali,
setelah 14 grup sepak bola melakukan 14 kali pertandingan. Jadwal
pertandingan ditentukan oleh PSSI dari jadwal di dalam dan luar negeri.
Setiap pemegang kupon yang tahun 1985 senilai Rp 300 menebak mana yang
menang (M), seri (S), dan kalah (K). Penebak jitu 14 kesebelasan
mendapat hadiah Rp 100 juta.
Pada tanggal 11 Januari 1986, penarikan pertama Porkas dilakukan.
Sampai dengan akhir Februari tahun yang sama, dana bersih yang
dikumpulkan dari penyelenggaraan Porkas ini mencapai Rp 1 miliar.
Pertengahan tahun 1986, pengedaran Porkas dilakukan melalui sistem
loket. Para distributor, agen, subagen yang terbukti melakukan
penyimpangan dipecat oleh Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial
(YDBKS), sebuah yayasan yang juga mengelola Undian Tanda Sumbangan
Berhadiah.
Bulan Oktober 1986, dana Porkas yang terkumpul sudah mencapai Rp 11
miliar, dari target Rp 13 miliar yang ditetapkan hingga akhir tahun.
Dari jumlah ini, KONI Pusat mendapat Rp 1,5 miliar, KONI daerah Rp 4,5
miliar, PSSI Pusat Rp 1,4 miliar, Kantor Menpora Rp 250 juta, Asian
Games X Seoul Rp 250 juta, administrasi antara Rp 8,5 miliar dan Rp 9
miliar, dan Rp 4 miliar didepositokan sebagai “dana abadi”.
Akhir tahun 1987, Porkas berubah nama menjadi Kupon Sumbangan
Olahraga Berhadiah (KSOB) dan bersifat lebih realistis. Dalam SOB ada
dua macam kupon, kupon berisi tebakan sepak bola. Kali ini yang ditebak
pada kupon tidak lagi menang-seri-kalah seperti pada Porkas, tetapi juga
skor pertandingan, bahkan skor babak pertama dan babak kedua. Kupon SOB
kedua berisi tebakan sepak bola dan tebakan huruf. Dalam kurun waktu
Januari-Desember 1987, SOB menyedot dana masyarakat Rp 221,2 miliar.
Pertengahan tahun 1988, Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan
Pembangunan menyatakan, SOB dan TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah)
menimbulkan akibat negatif. Yakni, tersedotnya dana masyarakat pedesaan
dan akan memengaruhi kehidupan perekonomian daerah.
Pertengahan bulan Juli 1988, Mensos Dr Haryati Soebadio dalam rapat
kerja dengan Komisi VIII DPR menegaskan, kupon KSOB dan TSSB tahun 1988
diperkirakan menyedot Rp 962,4 miliar dana masyarakat. Artinya,
meningkat empat kali dibandingkan dengan hasil penjualan tahun 1987.
Tanggal 1 Januari 1989, SOB dan TSSB dihentikan dan diganti permainan
baru bernama Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Tujuan SDSB,
menyumbang dengan beriktikad baik dan terbagi atas dua macam kupon;
Kupon A seharga Rp 5.000 dengan hadiah Rp 1 miliar, dan Kupon B seharga
Rp 1.000 dengan hadiah Rp 3,6 juta. Kedua kupon ini ditarik seminggu
sekali dengan jumlah yang diedarkan 30 juta lembar (Kupon A sebanyak 1
juta lembar dan Kupon B sebanyak 29 juta lembar).
Pajak penghasilan lotre-lotre tersebut yang harus dibayar
berturut-turut tahun 1986 Rp 2 miliar, tahun 1987 Rp 3 miliar, tahun
1988 Rp 4 miliar, dan tahun-tahun berikutnya Rp 8 miliar. Pada tahun
1991, berdasarkan kesepakatan dengan Dirjen Pajak, pelaksana/ pengelola
harus membayar pajak pertambahan nilai (PPN) Rp 13,4 miliar, pajak
hadiah undian dan PPh Rp 12 miliar, sehingga total pajak yang harus
dibayarkan adalah Rp 25,4 miliar.
Pada tanggal 25 November 1993, pemerintah mencabut dan membatalkan
pemberian izin untuk pemberlakuan SDSB tahun 1994. Lotre SDSB di
Indonesia berakhir setelah sebelumnya didahului berbagai demonstrasi
mahasiswa anti-SDSB